“Wintertime wind blowin’ and freezin’, comin’ from nothern, storm in the sea, love has been lost is that the reason, trying desperately to be free”

Wintertime love, The Doors

I. Sekilas Pandang Jaringan Anti Otoritarian

Jaringan anti otoritarian pada awalnya dibentuk dari jaringan antar individu yang bersepakat untuk tetap berkomunikasi pasca “Street Art Festival” di Jakarta yang diadakan dalam rangka mengenang aksi di Seattle sekitar tahun 2004 yang berakhir dengan pembubaran event itu oleh preman-preman sewaan Pemda. Pembubaran itu samasekali tidak mendapat “tanggapan” dari “panitia” “Street Art” dan mengakibatkan terusirnya partisipan luar Jakarta. Aktivitas ini digagas (atau setidaknya begitulah yang tercantum pada “surat edaran” mereka) oleh Institute Global Justice, kelompok Taring Padi, Yogyakarta dan sebuah kelompok dari Surabaya (saya lupa namanya). Dari “kekacauan” seperti inilah lantas jaringan anti otoritarian terbentuk dengan “memusatkan” diri di Jakarta, dimana sebelumnya telah terbentuk jaringan anarkis; Jakarta Anarchist Resistance (selanjutnya disebut JAR). Pasca “Street Art”, JAR-lah yang kemudian bertransformasi menjadi “pusat” jaringan anti otoritarian. Dari sekian lama komunikasi antar individu yang tersebar hampir di seluruh Indonesia, maka mereka memutuskan untuk menunjukkan keberadaan mereka melalui momen mayday.

Di Yogyakarta sendiri, jaringan anti otoritarian memiliki organnya yang berdiri sendiri; Affinitas dan Taring Padi. Affinitas berafiliasi dengan Food Not Bomb (selanjutnya disebut FNB) yang biasanya tiap beberapa bulan sekali membuka dapur umum yang membagikan makanan gratis untuk semua orang[1]. Kebanyakan individu-individu di dalam Affinitas adalah berlatar-belakang mahasiswa atau bekas mahasiswa yang tadinya tergabung dalam kelompok-kelompok aksi mahasiswa (kiri) yang lebih cenderung “berpedoman” pada Marxisme-Leninisme. Pada aksi mayday bulan mei lalu, berbagai organ anarkis tumpah di Jakarta tapi ada juga beberapa daerah yang “memiliki” organ anarkis tidak ikut ke Jakarta tapi mereka beraksi di daerahnya sendiri. Tetapi aksi itu sendiri merupakan momen tersendiri untuk bertemu muka lagi dan menegaskan kembali keberadaan mereka, hal ini bisa dilihat dari dari graffiti yang mereka buat pada saat aksi mayday (foto terlampir). Satu hal menarik yang saya perhatikan; style. Beberapa dari mereka terlihat seperti punk tetapi dalam berbagai percakapan mereka tidak mengidentifikasikan diri mereka sebagai punk. Selanjutnya saya akan mencoba membandingkan model aksi dan style antara punk (yang kebetulan juga melakukan aksi pada saat yang sama di tempat yang sama dan di barisan yang sama) dengan partisan dari jaringan anti otoritarian.

II. Aksi Mayday yang “Tidak Konvensional”

Seperti biasa, jika kita mendengar kata “demo”, yang langsung melintas dibenak kita adalah sekelompok orang yang berbaris dengan seorang pemimpin demo didepan barisan memegang speaker dan berorasi disepanjang jalan. Barisan yang mengikuti pemimpin demo akan terlihat banyak memegang poster yang berisi hujatan-hujatan. Atau, aksi demo yang paling “baru” biasanya akan diselingi dengan aksi teaterikal yang mana pemeran-pemerannya mengecat tubuh mereka dan memasang muka menyedihkan bagi yang berperan sebagai rakyat kecil, sementara yang berperan sebagai pejabat terlihat angkuh dibalik balutan batik atau jas dan peci hitam.

Hari itu 1 Mei 2007, terlihat ada yang sedikit berbeda dengan aksi-aksi “standar” yang diperlihatkan oleh para buruh yang turun ke jalan. Sekelompok orang “berbaris” dengan tidak teratur yang dari kejauhan terlihat seperti segerombolan punk yang akan pergi ke konser musik. “Barisan” itu benar-benar “kacau”, terlihat beberapa orang bermain sepak bola di tengah jalan, beberapa lainnya (para “bomber”; sebutan untuk seniman graffiti) “tertinggal” di belakang membuat graffiti di tembok jalanan dan merespon iklan dengan spray paint yang dibawanya, beberapa lainnya menyebarkan phamplet sampai ketengah kendaran yang terjebak kemacetan akibat aksi mayday, beberapa lainnya memakai kaleng-kaleng bekas cat dan bekas botol minuman mineral untuk membuat musik yang terdengar “sumbang”, dan yang lainnya mengibar-ngibarkan bendera merah-hitam dan bendera hitam bergambar circle A berwarna putih dan merah. Yang berada di “barisan” paling “depan” membawa spanduk hitam dengan tulisan berwana merah yang berbunyi “Bos Butuh Kamu, Kamu Tidak Butuh Bos”. Mereka semua “berseragam” serba hitam. Sebuah pertanyaan yang “mengganggu” terbit; apakah ini adalah semacam aksi anarchist’s revival setelah para anarkis dibungkam pada peristiwa Haymarket yang juga berlatar aksi kelas pekerja?

Aksi itu terlihat sangat berbeda dibandingkan dengan kelompok lain yang “hanya” berbaris rapi mengikuti “kepala” kelompoknya yang berorasi dan atau mengikuti “patung” kertas yang membentuk tikus dan ditempeli kertas bertuliskan kata “The King of Coruptor”. Sejenak saya teringat aksi di Seattle yang tampilan luarnya menyerupai aksi ini. Para pendemo di Seattle[2] juga tidak memakai aksi yang “konvensional” dalam aksi mereka. Mereka menari-nari ditengah jalan sampai akhirnya aparat dibuat kesal oleh tarian yang tidak jelas dan mulai membunuh satu-persatu para pendemo (menurut saya bukan esensi tarian itu yang membuat kesal aparat, tapi aksi reclaim the street itu seakan menyingkirkan aparat sampai pada titik dimana mereka tidak bisa lagi menggunakan kuasanya sebagai aparat ditambah lagi (mungkin) perintah dari “atas”). Aksi di Seattle ini menurut saya, banyak berpengaruh pada banyak sekali aktivis kiri di Indonesia (sejauh yang saya tahu, terutama aktivis anti otoritarian).

Aksi di Jakarta oleh jaringan anti otoritarian menghasilkan banyak graffiti yang menarik; salah satunya adalah tulisan “Kami Ada” yang “diikuti” oleh simbol circle A. Graffiti-graffiti yang berserakan itu sendiri adalah sebuah aksi tersendiri yang telah dikoordinasikan dalam tubuh jaringan anti otoritarian sebelum melakukan aksi di jakarta waktu itu. Dengan demikian jelas terlihat bahwa gariffiti-graffiti itu adalah sebuah penegasan akan keberadaan mereka yang selama ini terlupakan (atau sengaja dilupakan?). Jauh setelah aksi itu berakhir, ketika Jakarta kembali tenggelam dalam kesibukannya, ketika orang yang berlalu-lalang melihat graffiti itu, mereka akan kembali teringat sepasukan manusia “berseragam” hitam, saya kira itu yang diharapkan dari aksi graffiti itu. Circle A sendiri telah sedemikian luas dikenal sebagai simbol anarkis(me), namun pemberitaan media yang sedemikian gencar yang secara langsung mengarahkan setiap kerusuhan sebagai aksi anarkis(me) dan para intelektual negara yang tanpa malu-malu juga menggunakan kata anarkis(me) untuk menunjuk kerusuhan, lantas ingatan “penonton” terbawa pada wacana media dan atau intelektual negara atau “aksi damai” para anarkis yang mereka lihat pada 1 mei. Ada dua kemungkinan. Jika aksi damai para anarkis itu membekas dalam ingatan karena aksi mereka yang cukup berbeda dari kelompok lain, kemungkinan terbesar “penonton” yang terkesan akan menunjuk aksi itu sebagai signifier yang menentang signifier yang ditawarkan wacana media dan atau intelektual negara dan pemaknaan akan anarkis(me) akan berubah menentang “arus utama” wacana negara. Kemungkinan kedua, pemaknaan yang menekankan bahwa anarkis(me) adalah kerusuhan tidak akan berubah karena propaganda negara melalui media sedemikian kencang serta dilakukan terus menerus tanpa henti, dan para penonton yang “lelah” dengan “wacana-wacana ilmiah” yang tetap saja tidak membuat perubahan pada hidup mereka tidak akan ambil pusing dengan aksi kemunculan kembali anarkis(me) ini. Hal lain yang saya kira juga berpengaruh adalah sisi historis circle A di Indonesia yang kemunculannya pertama kali melekat pada “tubuh” punk. Hal ini memunculkan kemungkinan ketiga, dimana graffiti circle A akan dimaknai sebagai ulah anak-anak nakal punk yang sedang mencari identitasnya dan sebentar lagi sadar dan kemudian akan berjalan pada “batas-batas kenormalan”.

Pengaruh media dalam kebangkitan kembali anarkis(me) ini juga memegang peranan yang cukup penting, mengingat realitas sosial (terkadang) dibentuk oleh realitas media. Sementara itu media masih berperan sebagai organ propaganda kekuasaan, mengutip Noam Chomsky; Media disini sebagai media propaganda yang membuat persetujuan buatan, yaitu mengadakan suatu persetujuan dengan masyarakat dimana masyarakat sebenarnya tidak menginginkan hal itu[3]. Untuk menghubungkan antara media dengan anarkis(me) bisa dilihat berapa banyak kata anarkis(me) yang disebut media untuk mengganti kata kerusuhan, kekacauan, kekerasan dan seterusnya yang sejenis. Hal ini berpengaruh besar juga pada pembentukan opini massa yang kemudian akan mengarah pada pengharaman anarkis(me) tanpa merasa harus membaca atau mencari informasi yang “benar” mengenai hal tersebut. Kuasa media ini juga berpengaruh pada pembentukan “tubuh” punk, dimana seorang punk akan merasa lebih punk jika sudah melakukan tindak kekerasan[4]. Dalam konteks kekinian, bisa dikatakan hal itu sudah tidak berlaku lagi, karena mayoritas kelompok punk sudah lebih berorientasi pasar, meskipun masih ada beberapa kelompok yang mencoba untuk tetap “beroposisi” dengan pasar. Dan simbol circle A dalam punk kini hanya sebagai pelengkap gaya berpakaian dan itu ditegaskan kembali oleh media melalui rubrik fashion-nya. Sementara itu, media “alternatif” seperti halnya indie media atau rumah kiri yang bergerak di ruang maya alias internet “tidak bisa” diakses secara “massal” mengingat kelas yang diperjuangkan oleh para anarkis ini adalah kelas pekerja yang tidak bisa tidak bekerja hampir 24 jam setiap harinya. Kelas ini tidak mendapat akses sepenuhnya pada informasi, yang tertinggal adalah para intelektual kelas menengah yang diharapkan melakukan bunuh diri kelas dengan berpihak pada kelas pekerja. Tetapi dengan mengandalkan kaum “kiri tradisional”, hal ini tidak akan terjadi, karena “kiri tradisional” akan mengetengahkan konsep negara transisi a la Lenin dengan kepemimpinan seorang kamerad karena bodohnya kelas pekerja. Sebagai contoh yang mungkin tepat, bisa disebut suburnya pertumbuhan organ-organ mahasiswa (kiri) yang mengambil garis “perjuangan” Leninis, dimana dalam setiap diskusi dalam tubuh Affinitas, yang paling banyak disebut sebagai organ Leninis adalah LMND. Anarkis(me) yang tidak membawa asumsi bahwa suatu bentuk kuasa baru akan lebih baik daripada kuasa yang diruntuhkan dan kelas pekerja ini adalah sekumpulan orang bodoh, (menurut saya) lebih berat pada konsepsi sindikalisme yang mengusahakan semua orang bekerja sama tanpa hirarki yang jelas (mungkin yang dimaksudkan disini adalah seperti apa yang dilakukan oleh Partai Hijau).

III. Pertemuan Kelompok Anarkis dan Punk

Pada tempat dan waktu yang sama, kelompok punk juga melakukan aksi yang “serupa” dengan kelompok anarkis, mereka “bergabung” dalam satu “barisan” yang sama. Dari kejauhan mereka terlihat sama, “tanpa ada satu titikpun” yang bisa membedakan antara punk dan partisan jaringan anti otoritarian. Yang akhirnya bisa membedakan antara dua kelompok itu adalah tujuan melakukan aksi mayday. Jaringan anti otoritarian menegaskan yang mereka lakukan adalah (semacam) aksi kelas, sementara kelompok punk menyatakan kalau yang mereka lakukan adalah semacam aksi moral untuk mendukung “kawan-kawan” buruh. Dari sini terlihat sangat jelas perbedaan dua kelompok tersebut. Jaringan anti otoritarian adalah kelompok yang “dipenuhi” dengan intelektual organik dan kelompok punk dipenuhi dengan manusia-manusia yang terkondisikan oleh media.

Intelektual organik, berbeda dengan intelektual tradisional yang merasa dirinya sebagai kelas terpisah dari masyarakat, mengakui dirinya merupakan bagian dari suatu komunitas yang menyadari fungsinya tidak saja secara ekonomi tetapi juga sosial-politik. Dalam pengertian Gramscian, inteletual organik tidak hanya secara sederhana menjelaskan kehidupan sosial menurut aturan ilmiah, tetapi lebih pada mengartikulasikan, melalui bahasa kebudayaan, perasaan dan pengalaman yang tidak bisa diekspresikan oleh massa.

Dalam jaringan anti otoritarian, intelektual organik telah menubuh dalam jaringan ini dan bahkan pembentukan jaringan ini tidak bisa dipisahkan dari kehadiran para intelektual organik. Hal ini bisa “dibuktikan” dari graffiti-graffiti yang mereka buat dan spanduk yang mereka bawa sepanjang aksi mayday. Misalnya kalimat yang tertulis dalam spanduk mereka; “Kamu tidak butuh bos, bos butuh kamu”. Kesadaran semacam ini (menurut saya) tidak akan dimiliki oleh “kelas pekerja biasa”, disini saya tidak ingin mengatakan kalau “kelas pekerja biasa” adalah sekelompok pandir, tidak. Tapi dengan situasi dimana mereka dikondisikan untuk tidak bisa menyerap informasi yang mencukupi, saya kira kesadaran bahwa mereka adalah kelas terpenting dalam proses produksi tidak mendapat tempat di kepala mereka. Berbanding terbalik dengan kelompok punk yang menyatakan bahwa mereka melakukan aksi moral mendukung “kawan-kawan” buruh. Dua kata itu, aksi moral, pasca peristiwa ‘98 hampir setiap hari tersiarkan lewat media. Jika kelompok punk di Indonesia “dikategorikan” sebagaimana Dick Hebdige dalam “Hiding In The Light” menyatakan bahwa punk adalah most depressed communities government cuts in welfare, housing, education, saya kira tidak sepenuhnya tepat demikian yang terjadi di Indonesia. Tampilan luarnya, style-nya, mungkin mengesankan hal itu, cara mereka “bersenang-senang” dengan mengamen dan nongkrong di jalan mungkin menegaskan hal itu. Tapi tidak itu yang “sebenarnya”, saya cenderung memasukkan mereka dalam “kategori” anak muda kelas menengah yang berusaha keluar dari parents culture yang menjejalkan pada mereka apa yang harus dan tidak boleh dilakukan. Kesan itulah yang saya dapatkan setelah beberapa tahun berada dalam komunitas punk, jadi ini sebenarnya adalah pendapat yang saya dapat dari pengalaman saya sendiri.

Punk sendiri adalah sebuah subkultur kelas menengah yang mapan, dimana cara mereka untuk “bersenang-senang” lebih memilih cara white working class (alias punk) di Inggris dalam menghadapi hidup yang mana cara itu mereka temukan dalam media-media formal sebagai contoh, bisa disebut majalah Hai di Indonesia[5]. Menurut saya hal ini berhubungan dengan kemapanan mereka sebagai kelas menengah dan ke-labil-an kelas pekerja. Kelas pekerja di Indonesia begitu “rawan” dengan kejadian-kejadian yang “berbahaya” untuk ditempati dengan nyaman oleh kelompok ini[6]. Dengan demikian, peniruan yang nanggung ini adalah strategi “berjaga-jaga” jika sewaktu-waktu kejadian semacam ini terulang, maka dengan mudah kelompok punk ini bisa “melompat” kembali pada kenyamanan kelas menengah yang lebih diuntungkan oleh aturan-aturan kuasa[7]. Penggunaan kata “aksi moral”, itu sendiri (menurut saya) masih menandakan kalau mereka, para punk, belum sepenuhnya bisa melepaskan diri dari parents culture yang coba mereka tinggalkan. Kalimat “aksi moral” itu saya kira mencerminkan dukungan kelompok punk, dengan demikian mereka mengandaikan dirinya bukan sebagai bagian dari kelas pekerja, mereka berada diluar kelas tersebut. Bayang-bayang kuasa parents culture masih melekat pada diri mereka melalui media formal dimana mereka mendapat “ketegasan” identitas mereka sebagai punk. Graffiti yang dibuat oleh kelompok punk terbaca berbeda dengan graffiti dari kelompok jaringan anti otoritarian, graffiti para punk terkesan lebih “abstrak”. Graffiti mereka berbunyi “Energi baru=hutang baru”. Saya kira dari kalimat inilah kemudian punk dan jaringan anti otoritarian “berpisah” meskipun model aksi dan style mereka terlihat sama. Perpisahan ini jelas terlihat dari sisi pesan yang ingin ditunjukkan dari graffiti tersebut. Dalam tubuh jaringan anti otoritarian pesan “global” dalam rangka hari buruh jelas terlihat, sementara dari kelompok punk hal ini tidak jelas terlihat. Dan kalimat yang menegaskan kehadiran kembali anarkis(me) juga jelas terlihat dalam graffiti mereka.


[1] Kata “berafiliasi” disini sebenarnya saya tidak begitu yakin ketepatan penggunaannya, karena antara Affinitas dan FNB partisipannya sama, yang membedakan hanya ketika mereka melakukan aksi. Menurut saya perbedaan nama itu hanyalah sekedar label untuk suatu aksi yang mereka lakukan. Sekedar catatan tambahan, beberapa jaringan anarkis biasanya “memiliki” dan atau “berafiliasi” dengan FNB di daerahnya masing-masing, tapi ada juga beberapa daerah yang tidak “memiliki” FNB. Informasi terakhir yang saya dapat dari teman-teman anti otoritarian, di Salatiga sedang merancang juga pembentukan FNB yang berkonsentrasi pada aksi penolakan pembangkit tenaga nuklir, FNB di Salatiga direncanakan memiliki alias Food Not Nuke.

[2] Mengenai aksi di Seattle lihat: Reclaim The Street, Film dokumenter aksi Seatle

[3] Lihat: Noam Chomsky, Kuasa Media, terj. Nurhady Sirimorok, Penerbit Pinus, Yogyakarta, 2005

[4] Lebih lanjut tentang kekerasan dalam punk lihat: Straighthate zine edisi punk is dead dan mawarhitam zine.

[5] Sekitar tahun 96-98 (tahun kemunculan punk di Indonesia) majalah remaja Hai, banyak memuat artikel-artikel tentang fashion punk di Inggris dan Amerika, namun hanya sebatas pada musik dan gaya berpakaian tidak sampai pada unsur-unsur “aksi radikal” kelas pekerja-nya.

[6] Lihat: kasus Marsinah dan atau Udin (yang belum “terpecahkan” sampai sekarang) atau (katakanlah) stigma (yang masih) menakutkan; dicap sebagai PKI.

[7] Lihat misalnya: (Bali Post, tahun 2006?) kasus penghinaan oleh kelompok punk di Singaraja, Bali, kepada aparat kepolisian. Setelah beberapa orang punk ditangkap, salah satunya ternyata adalah anak pejabat kepolisian, sebuah kisah (indah) kelompok punk yang sudah tertebak; mereka dibebaskan begitu saja, dengan alasan penghinaan itu adalah suatu bentuk kenakalan remaja biasa. Kisah selanjutnya: case closed!