“With my friends now, up to the city we’re gonna shake the gate of hell And I will tell them, we will tell them. That the sunlight is not for franchise”

Bella Ciao/Chumbawamba, Asing Song & A Scrap album

Beberapa tahun lalu ketika saya masih SMA banyak teman yang bertanya asal-usul saya; darimana asal saya dan seterusnya. Ketika saya berkata bahwa saya berasal dari Nusa Penida, hal (lucu) pertama yang mereka tanyakan adalah “Apa ada air di Nusa Penida?” Sejauh yang masih saya ingat, saya tidak pernah menjawab pertanyaan (lucu) itu. Seingat saya, saya hanya tersenyum. Kembali lagi ke masa saya masih duduk di bangku SMP di Klungkung, saya sering (terlalu sering malah) mendengar pertanyaan konyol (yang lucu) itu. Jadi ketika saya mendengar pertanyaan (lucu) itu (lagi), hal itu terkesan seperti memutar ulang hari-hari saya (yang indah dan menyenangkan) di Klungkung. Dan itu lebih menguatkan ingatan saya tentang apa yang orang pikirkan tentang saya, darimana saya berasal dan bagaimana mereka bersikap pada saya. Hal kedua yang membekas dalam ingatan saya adalah ketika hampir setiap orang tertawa ketika saya bercakap-cakap dengan kolega saya dari Nusa Penida. Selanjutnya orang-orang akan mencoba menirukan dialek kami dengan cara yang lucu (mereka selalu menganggap hal itu lucu) dan tertawa mengejek setelahnya. Dan itu masih terjadi sampai sekarang…

Ketika seseorang dijahili gara-gara agamanya, dipermalukan atau diolok-olok gara-gara warna kulit atau logatnya, ia tak akan pernah melupakannya, demikian Amin Maalouf. Seperti halnya para surfer di Kuta yang membuat joke tentang ride the tsunami, mungkin di Bali joke itu tidak berarti apapun, tapi bagaimana jika itu disampaikan pada para survivor Aceh? Hal tersebut akan menorehkan luka pada diri orang yang diolok-olok itu dan hal itulah (salah satunya) yang kemudian membentuk jalinan identitas kediriannya yang membedakannya dengan yang lain. Identitas yang terbentuk kemudian adalah identitas yang berdasarkan atas dendam yang sewaktu-waktu bisa saja meledak, entah itu dalam bentuk yang positif ataupun negatif. Mengutip Amin Maalouf; “Orang kerap memandang diri mereka dalam pengertian pertaliannya yang mudah diserang. […] Orang-orang lain yang berbagi pertalian yang sama bersimpati. Mereka bergabung bersama menyatukan kekuatan, menyemangati satu sama lain, menantang “pihak lain”.” Tetapi “sebenarnya” untuk kami berkumpul dengan manusia-manusia sejenis kami cukup berat, karena orang-orang yang disebelah kami akan tersenyum mendengar kami bercakap-cakap. Jangankan senyuman, lirikan mata saja sudah lebih dari cukup untuk menghentikan pembicaraan kami atau kami akan melanjutnya dengan berbisik (sambil memaki tentu saja). Saya merasa seakan-akan cara kami bercakap-cakap salah, seakan-akan mereka ingin menyatakan bahwa diri mereka adalah pusat yang mesti kami tiru. Memang kemudian ada beberapa orang yang “menyerah” dan mengikuti logat Denpasar untuk bercakap-cakap-namun ketika kembali berkumpul dengan spesies sejenis, kembali lagi menggunakan bahasa (logat) ibunya. Sebelum melanjutkan cerita ini, ijinkanlah saya bercerita sedikit tentang hal lain yang (saya kira) juga berhubungan dengan cerita ini. Mengingat ungkapan “Mencuri logistik lawan”, peniruan ini menjadi suatu strategi bertahan dalam suatu hubungan kuasa yang tidak seimbang. Dari perspektif pascakolonial hal ini melahirkan suatu bahasa yang hibrid, namun proses pembentukannya menimbulkan luka pada saat yang bersamaan. Jika kita mengikuti diskursus pembentukan massa, maka luka ini adalah semacam stimulus untuk mencari orang-orang senasib, orang-orang yang memiliki luka karena sebab yang sama. Mereka akan berkumpul dan membentuk massa yang ketakutan, massa yang ketakutan ini memiliki ciri (salah satunya) agresif. Sentil-lah salah satu penanda identitas massa ini, tanpa ragu saya katakan apa yang akan terjadi: chaos!

Terjadi hampir diseluruh dunia, identitas seseorang selalu dihubungkan dengan identitas suatu kelompok. Serangan 11 September atau ledakan bom Bali jilid I dan II selalu dihubungkan dengan kelompok muslim, atau setiap kekacauan dalam suatu aksi demonstrasi selalu dihubungkan dengan kelompok anarkis. Akibatnya, seseorang dinilai berdasarkan identitas kelompoknya, seseorang “disalahkan” karena apa yang tidak mereka lakukan, atau bahkan karena sesuatu yang tidak pernah mereka ketahui! Kita selalu menyalahkan kelompok minoritas tanpa melihat dengan jelas pada kelompok mayoritas. Kita juga menganggap kita sebagai kelompok mayoritas adalah penolong kelompok minoritas, seakan-akan mereka memerlukan pertolongan, seakan-akan mereka tidak bisa melakukan apapun untuk menghadapi dunia ini[i].

Setelah ngalor-ngidul sejenak, (dengan enggan) saya akan kembali pada lintasan tulisan ini. Beberapa saat lalu, saya bertemu dan berbincang dengan seorang teman yang juga dari Nusa Penida. Ada satu hal menarik yang saya tangkap dari pembicaraan itu. Setengah bertanya ia berkata entah mengapa kalau di kampung ia lebih suka berada diluar rumah sedangkan ketika di Denpasar (ia bekerja di Denpasar sebagai buruh) ia tidak begitu suka keluar dari kamarnya, bahkan ia merasa sangat betah ada di kamar seharian. Saya tidak hendak memberikan spekulasi jawaban disini, tapi saya kira anda semua sudah paham mengapa saya tuliskan perkataan teman tadi. Dan mungkin untuk lebih meyakinkan anda, saya akan bertanya; “Dari lima orang teman yang anda punyai berapa orang yang berasal dari Nusa Penida?” Memang benar bahwa perbedaan identitas adalah satu permasalahan kecil dari suatu kasus kecil, dan logat serta perbedaan bahasa hanyalah salah satu unsur kecil penjalian jalinan identitas seseorang. Tahukah anda apa yang akan terjadi jika anda adalah seorang Madura di tanah Dayak? Atau untuk contoh yang lebih jauh, apa yang akan terjadi jika anda adalah seorang Muslim di India pada masa pra pemisahan India-Pakistan? Saya kira anda semua sudah memiliki jawaban anda sendiri-sendiri dalam kepala anda. Dalam contoh yang pertama anda berdialek berbeda, dalam contoh yang kedua anda beragama berbeda. Dan apa yang anda usung (dalam contoh diatas) hanyalah salah satu unsur kecil penjalin jalinan identitas anda, dialah kemudian yang membedakan anda dengan yang lain atau dalam sudut pandang lain (yang mungkin lebih ekstrem); dialah yang menentukan hidup-mati anda. Jika masih saja seseorang dibedakan berdasarkan unsur-unsur tersebut dan kemudian dihubungkan dengan identitas kelompoknya, percayalah kita semua sedang dalam suatu upaya untuk mengosongkan dunia ini dari manusia dengan identitas tertentu dan dari kelompok tertentu. Saya kira, permasalahan bukan terletak pada kecil atau besar, tapi pada kesediaan seseorang untuk menerima perbedaan orang lain apapun bentuknya tanpa kompromi.

Lagi-lagi saya melantur, untuk mencegah saya menuliskan lebih banyak lagi contoh-contoh kecil yang (ternyata) berdampak besar, sebelum saya sudahi tulisan ini saya akan melakukan sedikit pembelaan pada “celah kecil” yang terrekam disini. Saya menuliskan ini bukan hendak melestarikan kesan eksotis Bali, bukan. Kita semua tahu eksotisme Bali cuma buatan sarjana kolonial. Kesan harmonis juga cuma buatan, untuk sekedar menyamarkan kenyataan busuk dibaliknya. Keharmonisan macam apa yang hendak ditunjukkan jika hal-hal seperti cerita saya diatas masih saja terjadi? Mungkin terlalu sederhana; saya tidak mau ditoleransi, saya hanya ingin kesetaraan. Semoga…


[i] Sebenarnya saya enggan untuk mengatakan hal ini sebagai persoalan mayoritas-minoritas karena hal ini bisa menjebak, saya kira. Karena saya tidak bisa menghindar dari kata ini, mungkin bisa saya katakan kalau mayoritas-minoritas dalam tulisan ini bukan pada arti sempitnya.

٭ Terimakasih untuk Gu, Su, Ca dan “teman-teman Bali” lainnya, yang tanpa mereka saya tidak akan pernah bisa menyelesaikan tulisan ini. Atas ide kritis, “pertemanan” dan seterusnya saya ucapkan terimakasih.