“With my friends now, up to the city we’re gonna shake the gate of hell And I will tell them, we will tell them. That the sunlight is not for franchise”
Bella Ciao/Chumbawamba, Asing Song & A Scrap album
Beberapa tahun lalu ketika saya masih SMA banyak teman yang bertanya asal-usul saya; darimana asal saya dan seterusnya. Ketika saya berkata bahwa saya berasal dari Nusa Penida, hal (lucu) pertama yang mereka tanyakan adalah “Apa ada air di Nusa Penida?” Sejauh yang masih saya ingat, saya tidak pernah menjawab pertanyaan (lucu) itu. Seingat saya, saya hanya tersenyum. Kembali lagi ke masa saya masih duduk di bangku SMP di Klungkung, saya sering (terlalu sering malah) mendengar pertanyaan konyol (yang lucu) itu. Jadi ketika saya mendengar pertanyaan (lucu) itu (lagi), hal itu terkesan seperti memutar ulang hari-hari saya (yang indah dan menyenangkan) di Klungkung. Dan itu lebih menguatkan ingatan saya tentang apa yang orang pikirkan tentang saya, darimana saya berasal dan bagaimana mereka bersikap pada saya. Hal kedua yang membekas dalam ingatan saya adalah ketika hampir setiap orang tertawa ketika saya bercakap-cakap dengan kolega saya dari Nusa Penida. Selanjutnya orang-orang akan mencoba menirukan dialek kami dengan cara yang lucu (mereka selalu menganggap hal itu lucu) dan tertawa mengejek setelahnya. Dan itu masih terjadi sampai sekarang…
Ketika seseorang dijahili gara-gara agamanya, dipermalukan atau diolok-olok gara-gara warna kulit atau logatnya, ia tak akan pernah melupakannya, demikian Amin Maalouf. Seperti halnya para surfer di Kuta yang membuat joke tentang ride the tsunami, mungkin di Bali joke itu tidak berarti apapun, tapi bagaimana jika itu disampaikan pada para survivor Aceh? Hal tersebut akan menorehkan luka pada diri orang yang diolok-olok itu dan hal itulah (salah satunya) yang kemudian membentuk jalinan identitas kediriannya yang membedakannya dengan yang lain. Identitas yang terbentuk kemudian adalah identitas yang berdasarkan atas dendam yang sewaktu-waktu bisa saja meledak, entah itu dalam bentuk yang positif ataupun negatif. Mengutip Amin Maalouf; “Orang kerap memandang diri mereka dalam pengertian pertaliannya yang mudah diserang. […] Orang-orang lain yang berbagi pertalian yang sama bersimpati. Mereka bergabung bersama menyatukan kekuatan, menyemangati satu sama lain, menantang “pihak lain”.” Tetapi “sebenarnya” untuk kami berkumpul dengan manusia-manusia sejenis kami cukup berat, karena orang-orang yang disebelah kami akan tersenyum mendengar kami bercakap-cakap. Jangankan senyuman, lirikan mata saja sudah lebih dari cukup untuk menghentikan pembicaraan kami atau kami akan melanjutnya dengan berbisik (sambil memaki tentu saja). Saya merasa seakan-akan cara kami bercakap-cakap salah, seakan-akan mereka ingin menyatakan bahwa diri mereka adalah pusat yang mesti kami tiru. Memang kemudian ada beberapa orang yang “menyerah” dan mengikuti logat Denpasar untuk bercakap-cakap-namun ketika kembali berkumpul dengan spesies sejenis, kembali lagi menggunakan bahasa (logat) ibunya. Sebelum melanjutkan cerita ini, ijinkanlah saya bercerita sedikit tentang hal lain yang (saya kira) juga berhubungan dengan cerita ini. Mengingat ungkapan “Mencuri logistik lawan”, peniruan ini menjadi suatu strategi bertahan dalam suatu hubungan kuasa yang tidak seimbang. Dari perspektif pascakolonial hal ini melahirkan suatu bahasa yang hibrid, namun proses pembentukannya menimbulkan luka pada saat yang bersamaan. Jika kita mengikuti diskursus pembentukan massa, maka luka ini adalah semacam stimulus untuk mencari orang-orang senasib, orang-orang yang memiliki luka karena sebab yang sama. Mereka akan berkumpul dan membentuk massa yang ketakutan, massa yang ketakutan ini memiliki ciri (salah satunya) agresif. Sentil-lah salah satu penanda identitas massa ini, tanpa ragu saya katakan apa yang akan terjadi: chaos!
Terjadi hampir diseluruh dunia, identitas seseorang selalu dihubungkan dengan identitas suatu kelompok. Serangan 11 September atau ledakan bom Bali jilid I dan II selalu dihubungkan dengan kelompok muslim, atau setiap kekacauan dalam suatu aksi demonstrasi selalu dihubungkan dengan kelompok anarkis. Akibatnya, seseorang dinilai berdasarkan identitas kelompoknya, seseorang “disalahkan” karena apa yang tidak mereka lakukan, atau bahkan karena sesuatu yang tidak pernah mereka ketahui! Kita selalu menyalahkan kelompok minoritas tanpa melihat dengan jelas pada kelompok mayoritas. Kita juga menganggap kita sebagai kelompok mayoritas adalah penolong kelompok minoritas, seakan-akan mereka memerlukan pertolongan, seakan-akan mereka tidak bisa melakukan apapun untuk menghadapi dunia ini[i].
Setelah ngalor-ngidul sejenak, (dengan enggan) saya akan kembali pada lintasan tulisan ini. Beberapa saat lalu, saya bertemu dan berbincang dengan seorang teman yang juga dari Nusa Penida. Ada satu hal menarik yang saya tangkap dari pembicaraan itu. Setengah bertanya ia berkata entah mengapa kalau di kampung ia lebih suka berada diluar rumah sedangkan ketika di Denpasar (ia bekerja di Denpasar sebagai buruh) ia tidak begitu suka keluar dari kamarnya, bahkan ia merasa sangat betah ada di kamar seharian. Saya tidak hendak memberikan spekulasi jawaban disini, tapi saya kira anda semua sudah paham mengapa saya tuliskan perkataan teman tadi. Dan mungkin untuk lebih meyakinkan anda, saya akan bertanya; “Dari lima orang teman yang anda punyai berapa orang yang berasal dari Nusa Penida?” Memang benar bahwa perbedaan identitas adalah satu permasalahan kecil dari suatu kasus kecil, dan logat serta perbedaan bahasa hanyalah salah satu unsur kecil penjalian jalinan identitas seseorang. Tahukah anda apa yang akan terjadi jika anda adalah seorang Madura di tanah Dayak? Atau untuk contoh yang lebih jauh, apa yang akan terjadi jika anda adalah seorang Muslim di India pada masa pra pemisahan India-Pakistan? Saya kira anda semua sudah memiliki jawaban anda sendiri-sendiri dalam kepala anda. Dalam contoh yang pertama anda berdialek berbeda, dalam contoh yang kedua anda beragama berbeda. Dan apa yang anda usung (dalam contoh diatas) hanyalah salah satu unsur kecil penjalin jalinan identitas anda, dialah kemudian yang membedakan anda dengan yang lain atau dalam sudut pandang lain (yang mungkin lebih ekstrem); dialah yang menentukan hidup-mati anda. Jika masih saja seseorang dibedakan berdasarkan unsur-unsur tersebut dan kemudian dihubungkan dengan identitas kelompoknya, percayalah kita semua sedang dalam suatu upaya untuk mengosongkan dunia ini dari manusia dengan identitas tertentu dan dari kelompok tertentu. Saya kira, permasalahan bukan terletak pada kecil atau besar, tapi pada kesediaan seseorang untuk menerima perbedaan orang lain apapun bentuknya tanpa kompromi.
Lagi-lagi saya melantur, untuk mencegah saya menuliskan lebih banyak lagi contoh-contoh kecil yang (ternyata) berdampak besar, sebelum saya sudahi tulisan ini saya akan melakukan sedikit pembelaan pada “celah kecil” yang terrekam disini. Saya menuliskan ini bukan hendak melestarikan kesan eksotis Bali, bukan. Kita semua tahu eksotisme Bali cuma buatan sarjana kolonial. Kesan harmonis juga cuma buatan, untuk sekedar menyamarkan kenyataan busuk dibaliknya. Keharmonisan macam apa yang hendak ditunjukkan jika hal-hal seperti cerita saya diatas masih saja terjadi? Mungkin terlalu sederhana; saya tidak mau ditoleransi, saya hanya ingin kesetaraan. Semoga…
[i] Sebenarnya saya enggan untuk mengatakan hal ini sebagai persoalan mayoritas-minoritas karena hal ini bisa menjebak, saya kira. Karena saya tidak bisa menghindar dari kata ini, mungkin bisa saya katakan kalau mayoritas-minoritas dalam tulisan ini bukan pada arti sempitnya.
٭ Terimakasih untuk Gu, Su, Ca dan “teman-teman Bali” lainnya, yang tanpa mereka saya tidak akan pernah bisa menyelesaikan tulisan ini. Atas ide kritis, “pertemanan” dan seterusnya saya ucapkan terimakasih.
48 comments
Comments feed for this article
August 29, 2007 at 5:05 am
dod
hikz…
kita sama-sama bos…
sama-sama kebetulan ga lahir di pulau yang kata pemerintah eksotis ini.
August 29, 2007 at 12:15 pm
k
SIALAN!!! Blog ini sekarang uda seperti “media-media lain”!! maen potong gak jelas tanpa pemberitahuan… Eh,bung pengurus, taman65 sekarang punya departemen sensor ya???
di judul itu diatas sebenarnya ada footnote-nya. apa karena inisial dan kata-kata itu terlalu menyinggung??? waaaahhhh kacau nih..lama-lama kaya jendral besar yang terhormat soeharto deh…pertama menyembunyikan “sejarah” terjadinya suatu tulisan, kedua menyembunyikan duit 50 rupiah kembalian beli rokok, lama-lama mencekek leher teman/saudara sendiri lalu satu persatu mengamputasi bagian2 tubuhnya sambil minum champaigne dan berdendang indonesia raya lalu tertawa sambil coli…
ya sudahlah…..tapi gak apa-apa kok..tengkyu tulisan yang (mungkin) “menyinggung” kalian ini udah dimuat, meski sama sekali ga ada unsur “ilmiah”nya…… saluuuuuuuuttttt
bruuuuuuuutttt
August 30, 2007 at 1:12 am
taman65
Maaf Bapak k, atas ketidak-sengajaan kami dan tolong dicek kembali tulisannya, untuk honor Bapak sudah kami transfer lewat Padang Bay karena tidak ada Bank Nasional yang bisa dipercaya di Nusa Penida.
editor
August 30, 2007 at 5:39 am
dod
waduhh, ada apa nih???
komen ku itu becandaan loh yaa… biar ga serius melulu..
hihihhh
gw mau dong dapet honor, hehehh
August 30, 2007 at 10:55 am
yns
K
kenapa selalu takut terjebak…
August 31, 2007 at 3:21 am
derraka
K
kenapa nama teman-teman diinisialkan…
August 31, 2007 at 4:12 am
dod
K
adalah abjad urutan ke11 dari alphabeth…
August 31, 2007 at 11:43 am
derraka
Past Food,
Menjelang siang itu, matahari belum begitu panas namun aku masih merasa belum puas dengan hanya membaca kiriman sms dari Om Derrida, kudatangi langsung warung pulsa tersebut yang berada di salah satu komplek pertokoan Teuku Umar tempat percakapan Om Derrida dan Om Bob M itu pernah terjadi. Setelah melewati jalan padat lalulintas dan bising hingga aku yakin inilah warung tersebut, aku berhenti persis didepan warung yang masih sepi pengunjung ini. Langsung saja kududuk di atas salah satu bar stool yang seperti sedang menunggu menawarkan kenyamanan dan kuletakkan kedua tangan ini diatas top bar. Angin dari arah barat Pulo Misol menggerakkan dedaunan disebelah pojok sofa lalu menyapu leher yang berkeringat ini terus kuusap mata, Refresh! Lounge musik terdengar sangat lemah menghilang dan datang lagi, hingga penjaga bar melempar senyum sambil mendorong gelas dingin berisi air putih kaarahku.
Aku merasa tertarik untuk membuka percakapan dengan si penjaga bar karena aku enggan untuk bertahan bengong membayangkan saat itu. Kumulai pertanyaan, namun diluar dugaanku setiap satu baris pertanyaan dijawabnya dengan dua halaman penuh sehingga merangsangku untuk segera menawarkan porsiku sendiri.
Mulai kuceritakan masa lalu dengan cepat, lalu kuceritakan lanjutannya tanpa jeda, bagian detail tak lupa kuuraikan juga. Kubuang bagian yang tidak perlu, kutambahi sesuatu kubantu sendiri keyakinan diriku. Mulut ini mulai pahit, menjerit memohon ice cream, setiap pertanyaan kulahap sengit dan setiap pertanyaannya membuat aku tidak ingin berkelid. Layaknya “sarapan sederhana yang dia tawarkan kubalas dengan makan malam yang mewah”, Dia pikir aku tidak sadar bahwa dia telah mengarahkanku menuju pada kesimpulan kecil, counter argument cepat kuarahkan lagi padanya lalu dia balikan lagi kini berani menuduhku berkelid. “Hati-hati anda terjebak!”, lalu kujawab “terjebak apa?” Semakin aku menunjukkan berontakku semakin dia menegaskan senyumnya padaku sambil mengangkat bahu. “Kurang ajar!” gumamku. Kujelaskan subyek diluar diriku sebagai perbandingan, hanya mencoba meruntuhkan argumennya. Dan kemudian aku kembali lagi dengan masakanku, api lilin meja masih menyala, dia kelihatan masih menikmatinya. Seandainya aku bisa menuntut dia untuk menghargai masakanku, tidak hanya sekedar menikmatinya, tapi aku sadar itu tidak perlu. Kurasakan ujung kelelahan datang sesekali menyentuh pangkal lidah memanggil kesadaranku mulai menggugat dengan siapa sesungguhnya aku makan malam saat ini.
……………..“Ingatan anda kini sudah tersusun dengan baik, aku hanya membantu kalau mau ikut sesi berikutnya datang saja, aku selalu disini”………………………………………………………………………………………..
Aku Jacques Lacan, Kamu datang persis tidak lama setelah Derrida meninggalkan bar ini. Sebentar lagi Bob datang dan maaf kita tidak menyediakan arak.
Lampu panjang bergantung berjejer persis diatas sepanjang top bar jatuh menimpa kepalaku. Bayanganku berusaha keluar dari frame panjang yang sepanjang tadi ada didepanku, drop ceiling pun runtuh menyeret artwork bersama downlightnya di dinding dan menginjak gelas-gelas wine. ……….”Maafkan aku juga tidak menghidangkan light food untukmu! Dan kamu akan butuh minum air putih sebanyak mungkin untuk melupakannya.”
September 3, 2007 at 4:01 am
wahde
curhat ya brow..?????
September 4, 2007 at 9:13 am
dod
eksotis, harmonis dan indah memang cuman tampilan luar saja.
sama juga dengan pengeboman ala teroris bodoh, demonstrasi rusuh ala anarkis, termasuk pula kerusuhan berbau agama dan suku. ya.. hal2 ini cuman tampilan luarnya saja, karena ada kepentingan dibaliknya.
apa kepentinganya?? sayangnya ga akan dijabarkan luas coy, kebanyakan… capek ntar boouw, mungkin ditopik laen kali yeew
gw juga inget sama temen kantorku yang dengan menyedihkannya begitu takjub dengan band2 punk diluar sana yang lebih keren dari band2 punk di indonesia; dilihat dari style rambut, desain baju, peralatan musik, merek sepatu, dan tentu saja lirik lagunya.
Tapi gw menawarkan Nasionalisme disini loh ya… gw ga akan pernah menawarkan kebodohan2 dan kemiskinan ide dalam blog 65 ini. kan ga keren ntar… ya ga??
(ini dikarenakan bahwa anak2 65 mendeklarasikan dirinya sebagai orang2 keren…hihihh)
dan sayangnya qoute “Ketika seseorang dijahili gara-gara agamanya,
dipermalukan atau diolok-olok gara-gara warna kulit atau logatnya,
ia tak akan pernah melupakannya” oleh Amin Maalouf –
sama dengan pengalaman teman sbelah kosan gw yg berpikir: “karena gw bete ma rutinitas kerja gw, jadi gw langganan indovision aja”. dia berpikir bahwa tuk mendapatkan pengalaman hidup, mari membeli tv, majalah, film bokep, dll…
dan pengalaman anak2 denpasar yang selalu menganggap dirinya lebih bagus dari anak2 dr nusa penida sama dengan contoh band punk luar indonesia yang selalu lebih bagus dari dalam indonesia itu sendiri.
dan tentu saja semua itu masuk dalam krangka tampilan luarnya eksistensi kapitalisme lewat senjata ampuhnya yaitu: NeoLiberalisme. Karena semua hanya dilihat dari kacamata seberapa mampu anda mengkonsumsi dan menjadi seorang yg ga punya pemahaman laen selaen menjadi konsumeris, dan mati bersamanya….
Jika Om Derrida dan Om Bob pnya ide2 yg menarik untuk dijadikan dasar menuju perubahan dan perkembangan sosial maka sudah saatnya ide2 tersebut di paparkan, karena percuma ajah teriak2 perubahan kalo ga mempunyai rumusan2 untuk menggantikan susunan sosial yang lama.
masa mo terjebak ma ilusi separatisme, nasionalisme, dan kesukuan lagi sehh.. ga kan??
“kita harus menciptakan situasi di masyarakat yang telah menciptakan kita”
quote dari gerombolan Situationist International yg gw sukkaa banget…
WithLove
D
September 4, 2007 at 9:15 am
dod
koreksi…
– Tapi gw ga menawarkan Nasionalisme disini loh ya… gw ga akan pernah menawarkan kebodohan2 dan kemiskinan ide dalam blog 65 ini. kan ga keren ntar… ya ga??
(ini dikarenakan bahwa anak2 65 mendeklarasikan dirinya sebagai orang2 keren…hihihh) –
maap biasa ma mesin tik soalnya ..hehehhh
D
September 4, 2007 at 4:52 pm
k
Coba baca ulang dengan “pelan pelan”, tangapan dari sang editor… 🙂 keren ya..??? Oya, kalau tanggapan dibawah terlalu kasar bisa diedit oleh editor kok…buat apa ada editor, iya kan??
Mas yns, saya selalu takut terjebak. yup..benar saya selalu takut, selalu…tapi ketakutan itu menghasilkan energi yang cukup besar untuk saya “menghantam balik” mas…dan ketakutan itu mengingatkan saya kalau saya sendiri dan saya bisa “memukul balik”. ya, saya bukan kita atau kami, tapi saya.
Nama “teman-teman” diinisialkan karena saya tidak mau jadi signified. saya sudah cukup (bahkan teramat sangat) puas dengan hanya signifier…Sebagai derrida (palsu) anda tentu lebih paham daripada saya yang hanya terdiri dari satu huruf… 🙂
Hehehe melupakan ya…..ternyata sampai sekarang saya masih lebih suka minum arak dan merokok sambil mentertawai diri saya. Tapi mahap saya tidak akan melupakan…maap ya….dan tangan saya belum cukup pantas memegang gelas wine….terlalu mewah untuk saya……lagi pula dengan gelas wine yang mahal ditangan akan terasa sayang untuk dipakai melempar kepala derrida. lebih baik botol arak dibuat molotov dan jejalkan ke mulut intelektual prancis yang anda banggakan atau ke pantat anak-anak yatim piatu di perempatan. Atau minyak tanah dituangkan ke mulut om bob-mu itu dan kencing sapi unutk lacan.
aku punya ide bagus unutk dod: mumpung kamu di denpasar sana, coba deh sedikit bergaul sama orang (jangan cuma taman 65, mereka terlalu tinggi untuk ngerti caranya ngepel dan merasa terlalu keren untuk bersihin kandang babi). Jangan cuma kerja (sampe lupa nafas) dan nongkrong di kafe ma pacar…Liat aja gimana orang-orang membedakan orang yang satu dengan yang lainnya dengan bertanya “kamu dari mana?” Pertanyaan yang mencoba mengakrabkan diri atau……????? Kata amin maalouf “luka ngga bisa dijabarkan untuk dimengerti” saya suka kutipan itu….
menurut saya quote itu jauh berbeda..sangat berbeda…tidak ada tawaran dalam kalimatnya amin Maalouf…
kira-kira begitu……
salam
September 4, 2007 at 4:57 pm
k
saya uda panjang-panjang nulis komenar tapi ga bisa masuk. entah mengapa…ya sudhlah….tengkyu
September 5, 2007 at 7:46 am
dod
duhh, bang K
gw merasa istimewa banget nihh
seneng deh diperhatikan ma bang K.. ternyata selama ini abang memerhatikan diriku ya?? jadi malu gw…
kok belum menyatakan si bang??
tapi sayangnya gw dah punya kekasih bang, jangan patah hati ya bang. mungkin suatu saat nanti Termana bisa jadi milikmu.. Lohhh…
borobudur dan piramid itu sama-sama hasil kerja dari manusia, walaupun lahir dari kebobrokan sistem kerajaan dan jaman kegelapan, tapi tetep itu adalah hasil kerja manusia yang terakumulasi dari beberapa dekade dijamannya, karena manusia pada dasarnya adalah pekerja. untuk mewujudkan apa yang akan dimakan dan diminumnya sebab alam tidak menyediakannya secara langsung.
tapi gw boleh kok diajak selingkuh bang, apalagi nonton konser trio Celenk (kompetitor dari trio Macan) yang terkenal itu loh, atau kucing garong… meeeoaww
permasalahan bersihin kandang babi ataupun ngepel lantai itu hal yg laen lagi kayaknya… bukan lagi berhubungan ma tinggi rendahnya seseorang. itu terkait dengan hasrat manusia yang pengen belajar secara bebas. entah dia mo dari atas tanah atau pun dari bawah tanah, sok atuh silahkan berbuat apa yg disukai.
gw justru mendukung perkembangan pemikiran manusia yg kemudian memicu dirinya untuk melompat keluar untuk melakukan banyak hal selain bersihin kandang babi, mendesain logo dikantor, merancang bangunan, mengejar deadline tuk headline, rampungin skripsi, ngurusin anak, de el el.
kan kacian kalo cuman stuck disuatu tempat doang sedangkan kita bisa melakukan apa saja. gw sama sekali ga pernah menganggap Kasta itu sebagai penghalang walaupun dalam kondisi tertntu emang menyebalkan…
anak2 taman65 cuman salah satu tempat yang saya pernah temui bang, gw dah banyak ktmu orang2 lain yg mengklaim dirinya NakBali – dari berbagai kasta pula – dan ya itu tadi;
“kita harus mampu menciptakan sebuah situasi ditengah2 masyarakat yang telah menciptakan kita”
dadadah abang…
tiada kesan tanpa kehadiran abang
D
September 5, 2007 at 12:58 pm
gus indra
yang jelas, maju terus bos, jangan bicarakan identitas kita memang sekarang ini di lebelkan dengan identitas yang dikatakan jelas, tapi kalau kita berpikir jauh apah identitas itu penting?
sory bos saya agak ngawur komennya… yang jeas kan comment saripada gak koment..
khusus pak raka, saya mau masukan tulisan gemana caranya.
September 5, 2007 at 1:54 pm
lum
salam
identitas……..ah..masih ada saja orang yang meributkan identitas….
menurutku sih identitas itu selalu dalam proses menjadi, tidak tetap, terus berubah, namanya saja menjadi…….
pun dengan identitas kewarganegaraan saya, selalu dalam proses menjadi indonesia. keindonesian saya saat ini tidak sama dengan keindonesian saya kemarin…
tetapi, yang jelas keindonesiaan saya sekarang merupakan dialektika sejarah keindonesiaan kemarin…….
identitas sebagai proses menjadi ini merupakan hardikan bagi kawan-kawan yang terjebak dalam kacamata identitas itu selalu tetap dan dibawa sampai mati
salam hormat
lum
September 6, 2007 at 3:50 am
dod
hmm,
mungkin semakin rancu lagi ya ketika identitas itu dibawa ke arah kewarga- negaraan.
karena ketika berbicara sebagai warga negara tertentu maka yang dimaksudkan adalah mengarah pada pembentukan kepatuhan dan moral ketertundukan kepada sebuah status yang bernama negara (terinspirasi dari obrolan di rumah Degung – semoga udah kenal sih..)
kan negara tercipta tidak dengan begitu saja toh?? ada kepentingan dibalik pembentukan sebuah negara, dan kepentingan itu selalu saja menyebalkan (please visit : http://kerahputih.net/Material/isu/Separatis/nasonalis&separatis_pg.html).
dan negara tidak akan menjadi sebuah agen untuk pembebasan individu ataupun membebaskan kelompok otonomis.
dan ketika disebut sebagai sebuah proses menjadi akan melahirkan pertanyaan lagi; menjadi seorang pemikir bebas?? atau menjadi produk ciptaan dari pabrik yang disebut negara?? atau menjadi yang seperti apa??
withlove
D
September 9, 2007 at 4:39 pm
k
dod: saya nggak pernah sekalipun bilang saya memperhatikan kamu. itu kamu yang bilang bukan saya. karena itu untuk apa menyatakan apa???kekasih hati?!?!?patah hati?!?!?!?selingkuh?!?!?……huahahahahahahahaa..
ok. saya dapat cerita ini dari teman yang baru pulang dari malaysia; pemain teater disana tidak tahu bagaimana bikin cerita tentang pemulung dan tidak bisa bikin settingnya juga. kenapa? karena mereka tidak pernah tahu seperti apa yang namanya pemulung…saya yakin anda terlalu pintar untuk tidak mengerti..mengikuti kamu: ya itu tadi; luka tidak perlu dijabarkan untuk dimengerti.
Yup! bekerja terus bekerja bekerja terus bekerja lupakan saja bagaimana cara bernafas…saya setuju, teramat sangat setuju! Oya, kamu pernah tahu orang yang namanya Chairil Anwar (banyak orang bilang dia penyair paling keren selama ini di Indonesia)?? Bersihin kandang babi dang ngepel ada hubungannya dengan tinggi dan rendah.
Bukannya saya mau bilang kamu gak pernah ketemu nak bali.Coba cari orang yang biasa makan tai, dia orang yang berada di posisi paling rendah di sepanjang peradaban manusia. Ya! tinggi rendah selalu ada.selalu ada!
Len: identitas untuk saya penting.sangat penting.walaupun dia gak jelas untuk saya dia penting sekali.bukankah dia yang membedakan saya dengan kamu?memang subyektivitas seseorang (kalau gak salah) “tergantung” pada (m)Other, tapi tetap ia menjadi salah satu penjalin yang membuat ia “berbeda” dengan (m)Other.kira-kira begitu, tapi tentunya anda lebih tahu daripada saya…
Lum: Kata Said identitas itu cair….karena dia cair kalau dipanaskan dia bisa menguap dan kalau dibekukan dia jadi keras. Jadi dia mengambil sekaligus tiga bentuk cair, padat, gas!
k
selalu ada kesan tanpa kehadiran siapapun
September 9, 2007 at 5:12 pm
k
oya lupa. it’s never be a past food. it’s a present food! always..
September 10, 2007 at 5:20 pm
Miss Ika
aku NAK JAWA
penting ya???
September 11, 2007 at 3:49 am
dod
Dari dulu emang ada tinggi dan rendah, sama ketika feodalisme dan bahkan ketika revolusi industri pun hal ini masih ada. alasan klasik…
Ya itu tadi; karena terus dipelihara dan direproduksi ma masyarakatnya lintas jaman…
lantas mo terus diperpanjang gitu?? hmm
oh ya, tentang kelompok teater itu. gw sering banget ketemu kendala2 sprti itu. lagian akan selalu menjadi kendala ketika ketidak-terlibatan langsung dan kebiasaan representatif. ya, akan lebih seru jika mahasiswa itu mendobrak sistem pendidikan melalui aksi teater dari pada mewakili masyarakat pemulung (yg belum tentu mhswa ini terlibat lgsng dgn ke-pemulung-an).
gw jadi inget lagi obrolan di rumah Degung, tentang “ayo pulang, udah larut, besok harus kerja, karena ntar ga bisa makan…”
memanfaatkan ketertindasan dan kemalangan masyarakat; itu juga salah satu jebakan.
lagian apa sih bedanya antara pabrik minuman cola dan sistem pendidikan??
yang menjadikan kita berbeda ma hewan dan tumbuhan adalah karena manusia adalah tumbuh dan berkembang bersama apa yang dikerjakannya. tapi sialnya kapitalisme menjadikannya ajang komoditas…
manusia adalah pekerja, yang menguasai bumi dan langit. wahai kaum pekerja mari bersenang-senang !!!
hehehh
September 11, 2007 at 3:53 am
dod
miss ika,
kayaknya kita harus nyari serabi yang ga warna hijau dehh 🙂
September 11, 2007 at 1:56 pm
putra
Wa, tulisan yang dahsyat. Menarik karena menggambarkan kehidupan dunia perkotaan dimana identititas dimainkan tentunya ada perasaan terasing, bingung, bahkan kuasa cara Ajeg Bali.
Saya pingin tahu bagaimana reaksi ketika orang Nusa sendiri meremehkan identitas ke-Nusaanya? karena berdasarkan pengalaman saya, peremehan ini bukan saja di lakukan “mayoritas” terhadap “minoritas, tetapi di kalangan minoritas sendiri kadang-kadang saling meremehkan identitas sesama mereka. Sebagai contoh di US orang hitam adalah minoritas tetapi orang hitam borjua tidak mau di identitaskan sebagai orang hitam homeless. Yang borjua melakukan ini karena ia tidak mau dianggap gak beradab sehingga dia memilih gaya hidup orang putih sebagai identitasnya, walaupun tetap berusaha berjarak dengan yang putih. Sebaliknya orang Hitam homeless memandang mereka sebagai penghianat dan penjilat pantat orang putih.
Saya sangat pingin tahu bagaimana identitas “di goreng” antar sesama orang Nusa. Makasih…..
September 12, 2007 at 12:56 am
Degung
Identitas Nusa Penida bagi orang Bali selalu terkait dengan mitos ratu gede mecaling, penebar virus kematian menjelang sasih keenam di Bali semacam figur menakutkan yang selalu bikin terror. Namun disisi lain kenapa pura tempat bersemayamnya “ratu gede mecaling” selalu sibuk dikunjungi malam hari oleh petinggi-petinggi di Bali? Kenapa pejabat di Bali sangat suka mengidentifikasikan diri mereka dengan sosok menakutkan seperti tokoh ratu gede mecaling? apakah ini bagian dari politik identitas pejabat agar dianggap sakti? atau dalih sang kuasa untuk meritualisasikan kesengsaraan rakyat yang lagi menderita virus flu burung yang mematikan sebagai bentuk kesalahan rakyat sendiri karena mereka lupa tangkil dan bukan kesalahan management penanganan epidemi sang birokrat yang selalu menutup-nutupi agar tak menjadi berita internasional. Tentunya ini karena ditakutkan nanti turis tak akan datang alias sang Ratu Gede pembawa dolar.
Dengan pendekatan klasik yang berparadigma ritualistik membuat Bali kelihatan punya identitas yang semakin eksotis dan layak jual buat pariwisata dan bencana seolah-olah telah ditangani segala sesuatu sudah bereeeeeees, dan pejabat pun tidur nyenyak. Semoga dalam mimpi mereka di cari oleh identitas Nusa Penida yang menakutkan ini, tabik pakulun Ida Ratu Gede Mecaling. Ainggih mogi-mogi, Yogya ta kita.
September 13, 2007 at 3:35 am
Miss Ika
What about my identity donk guys???
Dear K,
How’s your secret identity revealed after soto without mangkok? still the same?
Oya, tadi sore, muridku yang orang bule nanya kayak gini,
“Ika, Do they have skool in Nusa Penida?”
then his father adds,
“I heard there’s nothing in Nusa Penida, that’s wat people told me and I think there’s no skool…”
Wat do you think about this K??
pertanyaan itu tidak membuatmu sedih kan?
Dear Dod,
Emang serabi warna ijo mengingatkanku pd Buto Ijo alias Shrek!!! tapi kalo singkong goreng sekarung dimakan dengan debotol saus super pedes, jelas bikin mencret donk ahh….
Dear Putre,
Tanah air membutuhkanmu Tre…
Degung emang menyenangkan, tapi arak lebih memabokkan!!!
I miss you like crazy!!!!
September 17, 2007 at 1:09 pm
k
dod: (biar keren pake bahasa inggris, lagian saya sedang senang ini) you don’t get it…that’s not what i mean. huahahahah keren.. (jgn cuma bingung karena kebanyakan orang pinter bung! sampe akhirnya hanya mentok di situasionalis internasional! itu juga menjebak! heheh masih banyak yang (lebih) asoy dan menyenangkan)
Missika: penting!. dan aku nak nusa, penting! lengkong nak bali, penting! ariel putu D.S. nak “hibrid”, penting! kadang-kadang ya, soto tanpa mangkok! ahah pertanyaan yang “lucu (lagi)”…
pakdegung: menurut saya, NUsa penida hanya sebagai sasaran propaganda politik elit negara, bung.
pajabat-pejabat bali datang ke sana untuk memperlihatkan kalau mereka punya kedekatan dengan pulau kecil (yang katanya kering kerontang itu). jadi di waktu dekat pilkada, dileher mereka akan “tergantung” plakat berbunyi “pilih saya! saya sering datang kesini, jadi saya tahu pasti apa yang terjadi disini.” Degung pasti inget kasus “kelaparan” di Nusa penida. NP kan “cuma pelengkap” Bali. Supaya orang bali dianggap peduli mereka bikin kasus kelaparan di NP, supaya dianggap melancarkan komunikasi mereka (sebenarnya saya mau pake kata kalian disini) bangun pelabuhan dan “memberi kami” bantuan kapal. padahal ga tahu juga siapa yang untung…Tapi karena degung ngabe ke masalah plu burung, jujur yang konden ngidang nangkep. begitu kira-kira…
putra: kleng pertanyaan yang (ehm) susah..mmm..setelah saya pikir-pikir..nah dania(kau pasti kenal) hampir pasti jarang pake bahasa NP (sekalipun dia tahu saya dari sana juga). kenapa? karena saya merepresentasikan kelas sosial yang lebih tinggi alias nak berkasta di NP, jadi dia pake bahasa “netral” alias bahasa bali. Pun ketika ada berurusan dengan uang (di denpasar) dia hampir selalu lebih banyak memberikan saya dibanding saya memberi dia. dengan begitu dia ingin menunjukkan kalau dia juga kuasa atas saya. walaupun itu di alam bawah sadar, sedikit tidaknya begitulah. Tapi untuk menjelaskan dengan singkat posisi sosial (contohnya) saya dan dania dengan lebih rinci akan makan waktu (dan uang karena saya di warnet) yang cukup banyak bung. Mudah-mudahan bisa sedikit menjelaskan…semoga saya tidak salah tangkap….semoga..
September 18, 2007 at 2:41 am
dod
hehehh,
I do understand what you mean K 🙂 (with all the cases that you describe)
just lil bit confuse…
why??
September 18, 2007 at 4:07 am
dod
tentang keterjebakan;
adalah bagaimana segala pemikiran maupun tindakan yang tidak mampu melepaskan dirinya dari kekuatan luar yang mendominasinya. sehingga segala pemikiran dan tindakan tersebut tidak akan pernah enghantarkan sebuah pemahaman baru tentang perkambangan peradaban manusia.
situationist international (SI) menawarkan konsep pemikiran temporer yang selalu berbicara ttg kebebasan cinta dan kehidupan utk kemudian mendasari setiap individu dalam aktivitasnya kesehariannya demi membebaskan kehidupannya dan cintanya.
apakah paham SI ini tidak termakan sistem?? itu salah..
juga pahan SI ini juga telah seringkali dijadikan ide2 untuk dunia marketing (termasuk bos gw yg pernah mendapati koleksi artikel ku di komputer kantor). namun anak2 SI menamakan ini sebagai rekuperasi; yaitu pencomotan ide2 revolusioner tuk dijadikan komoditas…
ini berarti anak2 yg berhaluan SI selalu mengembangkan pemahaman ini dan menurutku itu jauh dari klaim JEBAKAN,
ngga percaya??
karena itu juga kenapa SI ini dirumuskan bukan sebagai ISME (semacam marxism, anarchism, capitalism, dan isme laennya…) dan karena itu juga
rumusan SI ini ga pernah mau dalam bentuk massal dan selalu tampil dlm bentuk kelompok2 kecil.
kan yang penting individunya bukan massanya…
kalopun seandainya SI ini jebakan, udah dari dulu2 tumpukan buku2 SI dikosan gw ku bakar beserta soft copy nya di kompyu ku pasti kulenyapakan.
ngapain nyimpen dan melihara hal-hal yg tidak mengembangkan pemikiran?? iya ga??
i don’t read a junk fella
yang asoy dan menyenangkan emang banyak sayy..
sama kaya teman2 ku yang dulu “ohh sangat radikal” ternyata
setelah ditarik untuk bergabung dengan sistem ini berkata “udah dehh.. ga usah lagi revolusi2an… yang penting sekarang duiiitt…”
selain menyenangkan dan asooy bukankah sistem ini juga berbicara ttg kebebasan??
SI menyebutnya ini rekuperasi…
that’s why i love you all
D
September 19, 2007 at 3:24 am
derraka
Politik identitas seperti yang digambarkan Degung menarik untuk dilihat lebih dekat lagi. Bagaimana pemerintah-pejabat menjadikan NP sebagai objek propaganda-pariwisata yang tidak sangat mensejahterakan masyarakat NP, apakah hal ini disadari atau tidak oleh masyarakat NP sendiri. Ada sebuah tulisan yang mendukung untuk segera dimuat terkait dengan urusan bantuan kapal dari pemerintah yang mencoba mereduksi permasalahan di NP.
Bagaimana bang (k) e, yang sempat meneliti masalah bantuan tadi?
Mereduksi politik identitas menjadi konflik personal sama halnya seperti bagaimana pandangan pemerintah Orba mereduksi paham komunis menjadi paham penjahat yang lebih jahat dari praktek sepanjang pemerintahan Orba. Kita semua korban dari pandangan-pandangan keliru semacam itu, terus bagaimana menyadari kelengahan-kelengahan tersebut hingga jangan justru saling menyimpan dendam hanya karena sentiment linguistik. Hadir di dalam ruang-ruang yang mendukung pluralism tapi kenyataanya di dalamnya bersikap anti pluralistic.
September 19, 2007 at 3:57 am
dod
nyambungin tulisan Derraka…
dendam membara cenderung mengarah pada situasi yang reaksionis; (pandangan yang sepertinya mengarah kepada pembebasan masyarakat tertentu namun pada praksisnya lebih mengarah pada karateristik feodal, sifat kesukuan, fasisme, nasionalisme, bahkan kapitalisme itu sendiri)
ini dah yg bikin gw bingung…
why K ???
September 21, 2007 at 5:57 am
k
Dod:(akhirnya saya lelah)…Sesuatu ketika ia memiliki satu nama, dan menyatakan diri dalam sebutan gerombolan/kelompok dan seterusnya ( itu kenapa saya suka sendiri dan coli didepan nietszche) tidak akan membiarkan individu bebas dalam kebebasan untuk menjadi ubermensch. Ubermensch itu tujuan kalo mau benar-benar jadi manusia bebas. (kalo mau sok tau masalah ini saya bilang gini: itu kenapa nietszche benci dengan institusi, organisasi dan seterusnya, bahkan dia anti sama yang namanya anarki(sme). Makanya saya bilang ini jebakan dan saya takut terjebak…tapi ketakutan itu yang membuat saya kuat. Aneh kan?
saya setuju sama pam (untuk satu ini): anarki BUKAN anarkisme!!
kenapa Said menganalogikan idenittas itu cair? karena ia bisa mengambil bentuk apa saja. naturalisasi yang bikin orang gak merasa dia terjebak.
bukan, saya bukan sok berfilsafat a la kant atau siapapun. Inget siapa yang bilang filsafat ga ada gunanya kalo dia gak bisa merubah sesuatu? Yup! itu tugas filsafat; merubah sesuatu. (karena terlalu tinggi untuk merubah dunia, saya hanya bisa mencoba (sekali lagi; mencoba) merubah dunia saya).
Derraka: Kenapa? pertanyaan ini berbahaya! saya akan beli pestol untuk menembak kepalamu! jangan bertanya, mengapa!(tuh kan saya jadi ketularan orba dan derraka…). hmmm mereduksi politik identitas pada konflik personal ya…begini; “kekeliruannya” kalo melihat identitas itu sama pada setiap orang. Identitas itu sama sekali gak sama, pengalaman saya pada tulisan ini belum tentu dialami oleh orang lain yang juga dari NP. BELUM TENTU! identitas saya, ya identitas saya. identitas individu, personal. (saya gak harus mengulang apa yang sudah saya tulis diatas kan?) Saya pakai orang lain sebagai contoh untuk menyatakan: ada orang lain yang juga “seperti” saya. Hanya karena Sentimen linguistik ya..(saya garis bawahi kata HANYA)…bahasa adalah salah satu pengikat yang paling kuat dalam jalinan identitas seseorang dengan orng lain. jadi jangan heran kalo masalah ini adalah maslah personal bisa jadi masalah komunal. Jadi saya sma sekali nggak “mereduksi” karena ini pengalaman saya, masalah saya. Ingat SAYA bukan KAMI, jangan salah baca. Yang bung sebut sebagai hanya itu, penuh dengan jejaring hirarkis. dan saya kira siappun orangnya gak akan mau berada dalam ruang (pinjem katamu bung) plural tapi dijatuhkan dalam satu ruang terendah melalui bahasa.
saya terganggu dengan kalimat terakhirmu (sangat terganggu). Kalau untuk saya; hadir dalam ruang pluralisme, tapi kalau pluralisme menghalangi jalan saya menjadi ubermensch…(maap) saya anti pluralistic. seperti nietszche yang membunuh tuhan kira-kira…..Tapi saya ga mau jadi
nietszche.NGGAK.saya bahkan bukan nietszchean.
Dod(lagi): tergantung. karena saya memelihara dendam saya bisa jadi seperti ini. dan untuk saya, saya gak harus melupakan dendam itu. banyak aspek dalam dendam yang tidak seperti apa yang kamu bilang. mungkin kamu pernah merasakannya (mungkin) tapi kamu gak merasa itu sebaagai dendam, kenapa? orang (biasanya) merasa tidak mendemdam karena bawah sadarnya merepresi apa yang harus diperlihatkan oleh alam sadar.dan dendam itu kemudian muncul dalam bentuk lain; salah ngomong, joke, cara berkata dengan orang tertentu, cara berpakaian, pilihan akan pakaian apa yang akan dipakai dan hal-hal “remeh” lain yang mungkin kamu (yang selalu konsentrasi dengan maslah kapital dan enggan masuk popkulture) gak mau lihat. KMFDM (nama ban ini) bilang; “Release your hate.” trus Sepultura (ini nama band juga) bilang; “Do you understand pain, hate, pain?”. trus Slipknot (band juga nih) bialng: “fuck it all, fuck this world, fuck everything that you stand for.” Bukannya ini ungkapan dendam dari “kubu” popkulture?? Kalo saya bilang simpelnya gini: karena kamu terkurung dalam ide-ide SI meski dia gak membentuk -isme.
Derraka: masalah bantuan itu kapan-kapan aja yah…kan udah ada tulisan tentang itu yang mau dimuat..entar kalo udah ada, kita bermain disana aja.Siapa yang nulis??
p.s. seperti ungkapan pop will eat it self…SI will fuck it(them?) self
that’s why I keep the pain and hate
k
September 21, 2007 at 1:54 pm
termana
Wuih debatnya gila! Hampir dibuat gila diriku mengikuti perdebatan tentang identitas ini. Atau memang identitas itu sesuatu yang membuat kita gila? Entahlah…
Aku jadi bertanya, siapa aku? Siapa kamu? Apakah aku “lain” daripada kamu? Kalaupun lain, siapa yang menentukannya? Aku, kamu atau mereka? Kalaupun sama, apa pula yang menyebabkannya? Yang jelas pembentukan identitas bagi aku bukan hanya sekedar karena aku atau kamu kebetulan lahir di dua pulau yang berbeda (dalam debat ini antara NP dan Bali) tapi lebih jauh daripada itu. Kolonialisme tempoe doeloe menghancurkan relasi sosial antar pulau demi politik devide et impera yang terkenal itu. Parahnya hal ini dipersempit lagi dalam kasus 65 yang dilakukan oleh negara kita sendiri, dimana relasi sosial antar keluarga hingga personal juga dihancurkan. Membiaskan dengan jelas identitas siapa lawan dan kawan dalam konteks kepatuhan bernegara. Entah kamu berada dalam satu pulau, satu propinsi hingga satu keluarga yang kamu sering ajak tidur bersama.
Kemudian siapa “yang lain” (ato bahasa kerennya the others) di Bali? Tentu saja tidak bisa dijawab dengan sederhana dengan mengatakan bahwa aku orang NP, atau aku orang Bali atau bahkan aku Nak Jawa. Di tempat dimana kita sering bercengkrama bersama dalam satu atap, kamu bisa menjadi bukan aku kalau kamu tidak patuh sama mereka. Walau tampak luar kita terlihat hidup dalam harmoni.
September 22, 2007 at 11:33 am
dod
K for Individualist Power!!!
That’s great…
cuman sayangnya SI ga dan belum pernah mengajak gw untuk mengurung diri didalam (identitas) nya tuh… berlarut-larut sampe merasa takut untuk terhadap kesalahan dan ke-originalitas sang SI. tapi udalah toh ini bukan poinnya.
apakah tugas filsafat mengajarkan kepada kita untuk mendengar endapat seorang saja??
ataukah filsafat yang lupa mengajarkan kepada kita bahwa sosial merupakan himpunan beberapa individu??
mungkinkah filsafat bertugas untuk semakin memisahkan antara individu dan sosial?? (sama seperti yg dilakukan negara..)
jika memandang dari sisi individualist, mengapa beranggapan (???):
“mungkin kamu pernah merasakannya (mungkin) tapi kamu gak merasa itu sebagai dendam, kenapa? orang (biasanya) merasa tidak mendemdam karena bawah sadarnya merepresi apa yang harus diperlihatkan oleh alam sadar.dan dendam itu kemudian muncul dalam bentuk lain; salah ngomong, joke, cara berkata dengan orang tertentu, cara berpakaian, pilihan akan pakaian apa yang akan dipakai dan hal-hal “remeh” lain
yang mungkin kamu (yang selalu konsentrasi dengan maslah kapital dan enggan masuk popkulture) gak mau lihat.”
menurutku ini sebuah klaim !!! apa K memulai tuk mendominasi pemikiran audiensnya?? atau K berpandangan bahwa sosial itu harus berdasarkan kesadaran dari seseorang saja?? weleh weleh
tentang beberapa lirik lagi yg K paparin itu cukup menarik, dan memang trus terang gw ga pernah ngasih perhatian sama lirik mereka, lagian mereka ga memiliki sesuatu yg kuanggap keren. cuma teriak2 tp ga ngasih metode apapun… lagian: i don’t like junk !!!
tapi apakah gw ga nyentuh pop kultur?? gw lgsg inget iklan obat panu di tipi nya miss ika. kalo mo nyelesaiin masalah; selain ngancurin dampaknya juga harus ngancurin akarnya…
nah contoh band2 suka teriak2 itu tadi, kan akarnya mengarah pada Kapitalisme… atau gw salah??? apa ada gitu yg hidup ga bersama budaya yang maha kuasa ini??
kurang gaul apa sih gw 🙂 hehehheh
ga ada sesuatu yg baru yg gw dapet sih selain.. yaahh debat tanpa akhir
semoga aja ini ga mengarah kepada maksud dari tanggapan Derraka diatas… bangkitnya watak warisan orde baru
withlove
D
September 23, 2007 at 3:09 am
lode
wadow… sing bani mrekak jak taman65 ne. luung sajan. dadi kenalan jak ane nulis nusa penida?
sing misi adan puk
———
bundanya bani
September 23, 2007 at 2:41 pm
k
bundanya bani: ?????????????????????bingung????????????????
termana: yup. saya bingung…termana, untuk saya, demi mencari yang lain/sang lian/the other/(m)other yang pertama kali diamati konteks yang membentuk teks. yup teks dan konteks. menurut saya itu bisa jadi sesederhana itu. sekali lagi; BISA JADI (dengan demikian bisa tidak jadi).
dod: Kata ‘mungkin’ perlu dicari “pemaknaannya” dalam kamus besar???……mungkin..mungkin…mungkin dan sekali lagi mungkin (kata mungkin mengacu pada sesuatu itu bisa iya dan bisa tidak atau disana ada semacam dualitas). tergantung kamu melihat dari mana. kiri jadi kanan kalo dilihat dari kiri. Filsafat dan ilmu2 sosial kalao gak salah lahir dari segala macam kemungkinan kan? kecuali kalau memang gak mau menyentuh ilmu pengetahuan ato pake perhitungan matematis….saya menyerah kalo gitu.
sebaliknya bung! ketidak sadaran yang mendominasi. sepertinya (kata sepertinya mengacu pada sesuatu itu bisa benar bisa salah alias ketidak pastian) itu udah jelas di kaliimat yang kamu kutip deh…
mengarah ke kapitalisme ya sangat benar sekali, kalo ikutin polamu. Tapi dalam perjalanannya ia membentuk sesuatu yang mungkin (kata mungkin mengacu pada pemaknaan yang bisa iya, bisa tidak, dan atau disana ada dualitas)gak seperti yang dibayangkan (walaupun ia memang bermuara pada kapitalisme). kalo begitu apa bedanya dengan pasukan feminis yang menilai semua diskusi dengan laki-laki adalah percuma. hanya karena dia melihat laki-laki yang mengeluakan bisa patriarkal, karena itu gak bisa diajak ngomong masalah feminis(me)??langsung ke titik masalah: laki-laki=pengawet patriarki, jadi bunuh aja semua laki-laki…
Bisa saja kita akhiri “debat tanpa akhir” ini sebelum watak warisan orba bangkit kan??? Lalu siapa mewarisi apa kemudian jika “debat tanpa akhir” ini “diminta” untuk diakhiri hanya karena dod ga dapat sesuatu yang baru??? saya kira (kata kira mengacu pada kira-kira alias ketidak pastian) gak semua orang sepintar dod, saya contohnya. saya dapat banyak dari “debat tanpa akhir” ini.semoga watak itu bisa diwariskan (lagi)…semoga…dan mungkin saya bisa bikin proposal unutk mengadakan perayaan….
p.s. saya bukan individualis. apapun itu! Dan saya gak suka dikurung begitu….
September 24, 2007 at 9:51 am
Ji
hingga aku menghela nafas panjang..
haaaaaaaaaaaaaaaahh..
teringat perjalananku ke Nusa P kemaren. semua orang tersenyum dan memanggilku Mister…Mister di jalan karena aku bersama seorang teman dari USA. aku belum sempat mengenal mereka lebih jauh untuk menjelaskan Identitasku lebih detail.. kalaupun sempat mungkin” K bisa menduga apa yang aku katakan, aku akan berkata aku juga orang Bali lho! (Ya, cepat dan padat). jawaban yang juga aku lontarkan pada made yang mengantar kami keliling ketika dia bertanya padaku” apakah aku orang Bali?”.
dan aku ingat Bapak itu (maap lupa namanya), kita bertemu di colt pick up tempat kami menumpang, dia bertanya dari mana aku berasal ketika aku sebut Gatsu Timur bapak itu menyebutku “oooh bapak dari Bali ya”
saat itu aku tak bisa membuat jawaban yang cepat dan padat seperti diatas! aku kebingungan malah..
aku baru tahu kemaren ini kalau K dari Nusa Penida,..
seperti halnya apakah K mau tahu aku dari Kintamani?
tapi apakah begitu K tahu aku dari Kintamani K melihatku berbeda?
karena aku melihatmu tetap si murah senyum dan peminum alkohol yang banyak ?!?!
Let say kalo karena aku tak pernah bercerita siapa aku pada mereka yang memanggil dan meneriaki aku Mister…mister.. jadi Identitasku adalah Tourist Asing bagi mereka!?! hmmm, dan jelas mereka akan berubah seketika jika aku mengatakan hi aku orang bali lo…
dan saya ingat betapa kagetnya teman saya dijogja karena setelah 3 bulan bergaul bersama, dia baru tahu saya dari Bali ?!?
maap saya tidak pandai memberi comment.
saya cuma tidak mau terkurung Identitas siapa saya bagi orang lain atau K
September 26, 2007 at 5:00 pm
k
saya tau rasanya dibedakan ditengah ruang plural hanya karena saya menunjukkan cara bicara saya yang lucu (kata mereka). mereka tersenyum, tertawa terang-terangan dan seterusnya. sedih? gak juga tuh…hanya dendam hahahahahaaa
yup, karenna kamu penelitian terlalu singkat. kamu akan tetap sebagai toris, orang asing yang datang kekampung mereka. sialnya kenapa ga dicoba bilang dari bali? (dan anda tetap orang asing yang lebih superior). bagaimana anda tahu mereka akan berubah jika kamu bilang dari bali? [lihat kata ‘akan’ pada paragrap ke3 dari akhir].
liat juga kenapa mereka membedakan diri dengan menyebutmu dari bali? apa NP bukan dalam wilayah geografis bali? secara geopolitik saya kira bukan……
begitu juga beberapa teman dari bandung, jogja, malang dan jakarta yang sempat saya temui dalam perjalanan saya. sampai sekarang teman dari bandung (kebetulan saya msih berhbungan) panggil saya; bali palsu.
dan akhirnya, ya saya bukan orang bali, saya orang NP! Ya, tentu saja, bagi mereka orang NP itu “jelek”, tapi I’m proud of it and I’m kool….and i wrote it, for everybody knew….I guess..
kira2 begitu………
October 18, 2007 at 4:27 pm
+/-
wow…
October 18, 2007 at 4:28 pm
+/-
. . . dan tiba-tiba terhenti.
August 4, 2008 at 3:31 am
tampang maong gati
eh…. bali ama nusa penida tuh beda ya????
*liat atlas dulu ahhhh*
August 5, 2008 at 6:25 am
ANcak
* manisan, roko, kacang…..tisu-tisu……
* terima kasih, bapak ibu penumpang bus XXXX…ijinkan saya untuk menghibur ibu bapak sekalian dengan lagu-lagu yang saya bawakan…..
* onde-onde…onde-onde…..
* seorang polisi kena tipu…seorang polisi kena tipu…korannya, pak?
December 1, 2008 at 12:31 pm
komang
heee.. kirain ak ndiri orang nusa penida…..
om suastyastu bly..
om suastyastu mbok…
December 4, 2008 at 2:16 am
John Mangu Bengu
Nusa or not Nusa is…, (tentang kedewasaan dan kesadaran atas identitas boleh saja beda, ……………tapi manajemen kebijakan internal soal politik tubuh tetap saja memiliki tujuan yang sama. Misalnya, kalo sakit perut yang rutin datangnya pagi-pagi kesepakatannya adalah, directly go to your toilet paradise for the best investement!!!
December 4, 2008 at 5:04 am
fluktuasi rupiah
hmm tujuannya sama ya? WOW
December 19, 2008 at 8:09 am
k
mang..aduh komang..hang jape ede ne mang?komang jae ne? di Bali?masuk ditu?
January 21, 2009 at 6:06 pm
damarcakti
patuh not sama
men telah nasi di paon, de pisage uyutne.
time is not money
my book
coming soon: B4L! $0LD 0UT
February 3, 2009 at 8:16 am
de Dreg
………and my book is coming late!!!
“Nothing To Do With With Bali(nese) At All”
February 5, 2010 at 10:14 pm
Orang Luar Negeri
buat mr. K
buat mr. A
buat mr. T
buat mr. U
buat mr. K
dan mr lainnya
Hwahahah.. bener banget. Kalian Hebat…Bisa terbang. Agar tidak terjadipenyensoran, Komen saya ini saya capture.